Buat yang udah baca part 2 pasti udah tau kalo ternyata bisnis sendirian itu bakalan lebih cape. Walaupun ada beberapa kelebihan seperti lebih leluasa, lebih fleksibel, lebih cepet, but still, menurut saya bisnis bersama team itu lebih baik. Mari kita lanjutkan ceritanya.
Kalau bicara tentang bisnis, rasanya gak ada yah yang dijalani oleh satu orang. Ya walaupun ketika merintis itu ide, semangat, dan inisiatif-nya bisa saja dari satu orang. Tapi ketika sudah menjadi bisnis, udah pasti melibatkan orang banyak. Kita sebagai pengusaha, wajib improve dari segala aspek entah itu ilmu, wawasan, atau skill. Otomatis dong, harus ada waktu khusus untuk melakukan itu semua. It’s okay pada awalnya kita melakukan semuanya sendiri. Misal dari jualan, ngurusin branding, marketing, produksi dan segalanya. Tapi, nanti adawaktinya dimana kita wajib mendelegasikan beberapa pekerjaan kita ke orang lain agar waktu kita bisa digunakan untuk hal lain yang lebih substansial.
Makanya jangan keasikan sendiri ya guys. Lanjut.
Waktu itu tahun 2014. Kuliah mulai memasuki semester akhir. Waktu itu juga bertepatan dengan musim haji, dan orang tua saya sedang berangkat ibadah haji. Di rumah saya harus menjaga kedua adik saya. Tapi itu semua tidak membebani saya. Satu hal yang terus menerus membuat saya terbebani adalah stok pakaian yang sudah saya produksi menumpuk di kamar dan belum terjual. Kalau dibilang stress, saya cukup stress saat itu. Buntu.
Saya sempat sakit ketika itu. Enggak parah sih, cuman DBD aja. Tapi sakit itu mengharuskan saya dirawat di RS selama kurang lebih seminggu. Selama dirawat, jelas saya tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya terbaring, banyak berpikir dan interopeksi. Mungkin ini hadiah dari Allah untuk saya agar bisa beristirahat dan menjernihkan pikiran. Saya mungkin terlalu stress. Saya mungkin terlalu overthinking. Dan mungkin juga saya memiliki ekspektasi yang salah.
Saya sebut itu ekspektasi salah. Bukan ekspektasi yang terlalu tinggi. Kenapa? Karena memang salah. Bukan ketinggian. Saya mungkin berkespektasi produk saya diterima market, langsung laku keras, keteteran order dan lainnya. Sedangkan saya tidak berusaha dengan baik saat itu. Berbeda dengan ekspektasi yang ketinggian itu biasanya, prosesnya kurang maksimal dan mengharapkan hasil lebih. Yang saya lakukan dulu bukan kurang maksimal, tapi tidak ada sama sekali. Karena saya tidak tahu harus apa. Saya tidak tahu bagaimana caranya produk diterima pasar, atau bisa laku keras. Apa yang saya lakukan dulu hanya diam, dan overthinking. Makanya sakit.
Pelajaran yang bisa diambil waktu sakit adalah, saya harus bisa berdamai dengan kenyataan. Its okay. Saya mencoba mengganti perspektif dan mengubah ekspektasi saya. Ternyata, jualan apalagi bisnis itu tidak semudah yang dibayangkan. Saya harus lebih kuat dari segi mental dan fisik. Banyak sekali yang saya tidak tahu. Saya terus menerus memberikan energi positif kepada diri sendiri dan memaafkan diri yang dulu tidak tahu apa-apa tentang bisnis.
Phicarta, bisnis saya yang kedua ini sudah saya anggap seperti anak. Walaupun pada saat itu saya masih single. Gak tau rasanya punya anak. Hanya saja, saya sangat merasa bersalah jika ini tidak dilanjutkan. Tapi lagi, saya masih belum tahu caranya. Setiap saya melihat tumpukan pakaian yang belum terjual itu, semangat saya selalu terpacu, tapi seketika langsung padam karena tidak tahu arah. Saya memutuskan untuk stop dulu. Saya akan cari dulu ilmunya.
Saya mulai ‘mengosongkan’ gelas. Mulai membuka hati dan kepala untuk ilmu baru, wawasan baru tentang bisnis. Saya juga berusaha menjadi pribadi yang lebih baik lagi, karena tidak ada orang sukses yang kualitas dirinya sama dengan orang yang gagal. Gagal berpola, sukses juga berpola. Saya mulai mengikuti ‘cara’ orang sukses berpikir, bekerja dan memandang sebuah masalah. Mulai dari saat itu saya bertekad harus tumbuh.
Menemukan Partner
Beberapa bulan setelah keluar dari rumah sakit, saya langsung menjalani lagi aktivitas seperti biasa. Kuliah. Namun waktu itu ada seseorang yang menghubungi saya karena membutuhkan desain. Singkatnya, saya bantu dia beberapa kali. Setelah banyak diskusi, dan bertemu saya mulai cerita tentang bisnis yang saya jalani ini. Mentok dan tidak bergerak. Dia bilang wajar, karena saya berjalan sendiri. Tanpa lama, saya tawarkan untuk bantu saya dalam mengelola Phicarta. Dan dia tampaknya tertarik juga. Tapi lagi, tidak ada akad, tidak ada pembagian joblist yang jelas, hhehe.
Walaupun tidak ada persaiapan seperti yang saya sebutkan, saya cukup terbantu. Teman baru saya ini memang dapat diandalkan. Dia juga seorang pekerja keras. Dia juga memutuskan hidupnya untuk menjadi pengusaha. Wah saya agak terkejut juga karena geraknya sangat lincah. Jujur saya banyak sekali belajar darinya.
Hasil dari kerja sama kami mulai terlihat. Sudah mulai ada penjualan, walaupun belum keteteran. Banyak pengalaman baru yang saya lalui seperti jualan pake tenda di event kajian, ikut event bisnis, mulai aktif seminar dan lainnya. Saya terus explore dan mencari bentuk. Sampai saya dan partner pernah pinjam uang ke orang tua masing-masing untuk modal produksi. Karena saya paling anti pinjem ke bank. Padahal saat itu saya belum tau tentang Riba. Alhamdulillah Allah selamatkan kami.
Pengalaman paling menarik adalah ketika saya mulai produksi senilai puluhan juta hasil dari meminjam modal ke orang tua. Lalu hasil produksi yang banyak itu kami titipkan ke toko retail salah satu brand muslim ternama di Bandung dengan akad konsinyasi. Bangga. Itu yang saya rasakan saat itu. Melihat produk terpampang di sebuah toko. Walaupun pembagian persentasinya begitu mencekik. Yang penting bangga dulu udah berproses. Produk udah mampang di toko. Yees
Kami sangat senang waktu itu. Gak sabar nunggu laporan penjualan bulan pertama. Saat itu saya bener-bener gak ngerti soal keuangan dan pengelolaannya. Buta semua. Wajar, anak DKV hehe, gak belajar akuntansi. Setelah melihat penjualan bulan pertama, karena itu Ramadhan saya kaget karena itu angka yang belum pernah saya lihat sebelumnya. “Lumayan juga ya”, tapi bingung, ini uangnya harus diapakan. Akhirnya, kami gunakan untuk produksi lagi. Dan polanya seperti itu seterusnya. Kami hanya ambil sedikit untuk kami.
Bingung. Itu yang saya rasakan saat itu. Kok ini makin kesini uangnya gak ada ya. Memang, saat itu masalahnya adalah persentasi konsinyasi terlalu tinggi, sehingga margin kami sangat kecil. Ditambah, kami harus membayar hutang kami ke orang tua. Masalah lainnya belum terpikirkan. Dari situ saya mendapat dua pelajaran penting yaitu, pentingnya negosiasi, dan jangan sampe punya hutang!
Terlalu Cepat Menjudge Keadaan
Kami belum merasa puas. Karena Phicarta sudah masuk retail, teman saya punya ide untuk membuat keran uang lain. Dia ingin membuat bisnis jasa produksi, seperti jasa sablon, membuat label, packaging dan lainnya. Lumayan, bisa tanpa modal. Hanya menjadi penengah antara klien dan vendor, kita mendapat selisih. Boljug tuh, pikir saya saat itu. Jadi saya bantu teman saya itu.
Pada waktu itu, jujur saya belum terlalu fokus di bisnis. Saya masih seorang freelance designer, saya juga menerima tawaran beasiswa S2 dari kampus, dan saya masih mencari ilmu bisnis. Saya mulai cemas, bagaimana kelanjutan Phicarta. Karena dirasa makin kesini, penjualan makin turun. Sisa hutang juga harus dibayar. Sedangkan untuk produksi lagi kami tidak punya modal. Dan saya tidak tau harus melakukan apa.
Partner saya tampak lebih disibukkan oleh projeknya sendiri dibidang jasa produksi. Saya juga sibuk dengan urusan sendiri. Fokus kami teralihkan. Alih-alih interopeksi, kami mulai banyak menyalahkan satu sama lain. Saya juga mulai menyalahkan keadaan. Ketika bisnis saya tidak tumbuh dan stuck, saya menilai itu karena kondisi pasar yang salah. Produknya juga salah, karena itu marketnya untuk muslim, jangkauannya jadi kurang. Inilah, ituulah. Semuanya salah.
Padahal, satu-satunya yang salah adalah saya. Waktu itu saya banyak banget excuse.
Ingin Mundur, Tapi Tidak Untuk Berhenti
Rasanya ingin lari dari kenyataan (kayak lagu), tapi begitu banyak sesuatu yang harus diselesaikan. Waktu itu 2015 akhir, saya memutuskan mengistirahatkan bisnis saya yang kedua itu. Setelah produk Phicarta terjual semua, saya akan membayar semua sisa hutang ke orang tua. Dan sisanya kami bagikan sesuai persentasi.
Rasanya berat, tapi apa salahnya mengaku kalah.
Hati kecil saya masih penasaran. Saya masih ingin membuktikan kalau penilai saya waktu itu benar. Bahwa kalau produk saya marketnya lebih general maka jualan akan lebih mudah. Saya merasa kesulitan menjangkau pasar untuk brand saya sebelumnya.
Maka saya mulai membuat business plan baru untuk produk fashion (lagi). Hanya saja, brand baru ini saya akan arahkan ke market yang lebih general. Kalau belum dicoba, mana tahu. Iya kan?
Bikin Brand Baru Lagi
Singkat waktu, dibangunlah brand saya yang baru yang bernama Pocklite. Idenya lebih simpel, yaitu clothing untuk anak muda. Kami mulai di kaos karena cost produksinya cenderung murah, dan mudah. Kami juga sudah punya pengalaman sedikit di produksi pakaian karena partner saya menjalankan bisnis jasa produksi.








Jadi untuk brand Pocklite ini, kami mengeluarkan modal dari saku kami sendiri seadanya. Kami berdua mulai menghitung kebutuhan, belanja bahan material sendiri, sablon sendiri agar tetap menjaga cost produksi. Berbeda dengan Phicarta yang kami serahkan sepenuhnya ke vendor. Alhamdulillah dikaruniai pengalaman dan ilmu baru.
Saya merasa memiliki semangat yang lebih stabil dan mental yang lebih siap ketika merintis Pocklite. Saya tidak terlalu menggebu-gebu, tapi terus menerus termotivasi untuk bergerak. Sayapun sudah tidak merasa gengsi jualan terang-terangan di sosmed maupun jualan langsung ke teman. Saat itu saya sedang kuliah S2 dan mengajar di kampus. Saya sering bawa produk untuk dijual. Waktu itu saya hanya tersenyum melihat perkembangan saya sendiri. Melihat setahun ke belakang, mungkin saya akan gengsi melakukan ini.
Selain menjual secara langsung, saya juga coba menjual melalui Facebook ads. Jangan pandang saya hebat dalam hal ini. Bahkan saat blog ini ditulis pun saya masih belum menguasai facebook ads sepenuhnya. Waktu itu saya hanya menggunakan facebook ads sesuai dengan budget yang kami punya, dan ilmu yang terbatas. Sisanya sok tahu.
Alhamdulillah, setiap hari ada penjualan. Ongkos iklanpun bisa ketutup. Artinya, kami mendapat keuntungan dari Pocklite. Tapi beberapa bulan kemudian saya mulai kelelahan. Karena fokus saya saat itu adalah kuliah, freelance desain, dan partner saya juga lebih fokus di bisnisnya sendiri akhirnya perhatian terhadap Pocklite menurun. Penjualanpun menurun. Kami tidak punya modal untuk produksi produk baru. Dan banyak lagi masalah lain.
Masalah paling utama adalah, karena fokus kami yang kurang. Selain itu, saya sendiri masih belum sabar dalam menjalani prosesnya. Ilmu saya masih kurang, dan banyak kekurangan lain. Waktu itu juga egoisme saya masih kuat, karena saya merasa pembagian joblist tidak merata dengan partner. Dan lagi, akadnya tidak jelas. Energi kami habis untuk mendebatkan masalah semacam itu akhirnya. Saya belum dewasa. Saya juga belum punya kemampuan menyelesaikan konflik dengan baik.
Akhirnya dengan terpaksa, Pocklite kami hentikan. Kami bubar dengan cara yang baik. Kenapa sih kok saya kesannya mudah banget suntik mati bisnis? Saya orang yang menjunjung tinggi fokus. Saya lebih baik menghentikan beberapa cabang proses, agar satu proses berjalan dengan baik.
Pelajaran Yang Bisa Diambil
Ketika kita memutuskan untuk berbisnis, maka siaplah dengan tantangan, hambatan dan segala ujian yang akan muncul. Karena itu semua sudah satu paket. Bentuklah komitmen yang kuat dengan pondasi visi dan misi yang jelas. Jika memang berbisnis adalah mimpi yang ingin kita wujudkan, atau goals yang ingin kita kejar, harusnya kita bekerja keras untuk itu. No matter what.
Dulu, saya seorang excuser. Saya selalu punya alasan ini dan itu jika menghadapi masalah. Kadang saya menyalahkan keadaan, orang sekitar, dan mungkin nasib saya. Padahal, apa yang Allah timpakan kepada kita itu sudah yang terbaik untuk kita. Kita yang harus bisa merubah mindset, dan cara pandang kita terhadap ketetapan itu. Jika memang kita memiliki banyak keterbatasan, jadikan itu sebagai kesempatan untuk tumbuh. Pada akhirnya saya sangat bersyukur karena punya banyak kesempatan untuk melatih diri lebih bersabar, mempertajam kemampuan, menyajikan berbagai solusi untuk setiap masalah yang sering terjadi dalam hidup saya. Mungkin jika saya berada dalam zona nyaman dengan kurun waktu yang relatif lama, saya akan tumpul.
Hiduplah dengan realistis. Namun dengan optimis. Dalam tulisan saya di atas saya menyebutkan bahwa saya kurang memiliki komitmen terhadap bisnis yang saya bangun. Tapi satu sisi, saya sedang memperjuangkan kehidupan saya pribadi. Jadi saya dituntut memiliki penghasilan. Bisnis belum bisa menutupi kebutuhan. Realistis saja. Saya jadi lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan projek desain.
Seharusnya, saya mampu membagi waktu dengan baik. Kapan saya bisa bekerja untuk penghasilan dan kapan saya mengejar impian untuk bisa mengelola bisnis. Tapi dulu saya terlalu sering memberikan reward terhadap diri sendiri. Istirahat dan santainya terlalu sering. Padahal itu celah yang bisa digunakan untuk belajar bisnis atau membaca lebih banyak buku.
Jika kita memiliki passion, mimpi atau keinginan tertentu. Misal ingin bisnis, tapi dalam keadaan sedang bekerja pada perusahaan. Kita harus punya ekstra time untuk mewujudkan mimpi itu. Kita harus bersedia untuk menunda kenyamanan, dan kesenangan. Jika siang hari kita bekerja di kantor, bekerjalah dengan baik karena itu amanah. Malam hari, setelah berkumpul dengan keluarga, itu bisa jadi waktu yang tepat untuk mengejar mimpi setapak demi setapak. Itulah resiko dan harga yang harus dibayar bagi seorang yang ingin mewujudkan mimpinya. No excuse.

Leave a comment