ceptian.blog

butir pelajaran dalam perjalanan.

“Pengennya Bisnis. Tapi Kok Gini…?” Pencarian Part 2

Bagaimana perasaan pertama kali berbisnis? Ralat. Belum bisnis sih, jualan juga belum. Saat itu mungkin masih ada di tahap develop produk. Tapi rasanya kayak, pikiran mendadak liar. Segala dipikirin, sampe yang belum kejadian juga ikut dipikirin. Kayak misal; “Ini kalau orderan meledak gimana? Wah nanti kalo sukses bisnisnya mau ngapain ya? Keren nih kalo bisa go international?”. Optimis banget kan? Iyaa. Tapi agak halu gak sih? Hahah.

Dulu gak mikir kalo itu semua halu. Saya ngerasa normal aja. Mungkin teman-teman juga ada yang pernah mengalami fase ini. Rasanya kepala ini penuh banget. Mungkin saking excited mengawali bisnis untuk pertama kali. Seolah banyak banget yang perlu dikerjain, tapi bingung yang mana yang duluan. Campur aduk pokoknya. Kurang lebih seperti itu euforianya.

Kami berlima waktu itu. Semua dari kami berlatar belakang yang sama, bergerak di field yang sama yaitu desain komunikasi visual. Jujur, saya gak mikir kalau kita berasal dari field yang sama akan menjadi masalah. Setelah berjalan beberapa waktu mulai terasa ada getaran permasalahan yang saya rasakan.

Kami cenderung memiliki skill yang sama dan cara pandang yang sama terhadap bisnis. Kami terlalu fokus terhadap developing produk, sehingga aspek lain tidak tergarap dengan baik. Saya pada saat itu belum memiliki ilmu sama sekali tentang bisnis. Yang lain pun sama. Bayangkan, fokus kami dulu hanya pada hal yang cuma kami kuasai, yaitu; keren-kerenan poster, foto produk, postingan dll. Polosnnya saat itu kami masih berpikir, dengan membuat visual keren dan menarik, dengan sendirinya nanti produk bakalan laris manis. Hah emang sulap?

Well, gak semuanya salah sih. Sisi kreatif memang bakalan dibutuhin banget di dunia bisnis apalagi zaman sekarang ini. Visual yang baik (memenuhi standar kaidah desain) dan oke (dibutuhkan dan disukai market) menjadi sebuah kewajiban. “Good design, is a good business”. Kita tidak bisa mengelakan kalau foto produk yang kompetitif akan memunculkan trust tersendiri bagi konsumen. Dan banyak impact positif lain bagi bisnis jika kita ‘melek’ sama sisi desain.

Biar ceritanya bermanfaat, saya langsung share deh beberapa kesalahan yang saya lakukan saat melakukan bisnis pertama kali bersama teman. Catet, tapi jangan dicontoh yaa

1. Tidak Ada Akad Jelas Diawal

Saat itu kami hanya membahas pembagian saham kepemilikan berdasarkan setoran modal diawal. Tapi, tidak ada semacam MOU (ya boro-boro, pan baru mulai. Hehhe), atau minimal aturan main dalam menjalankan bisnis itu harus seperti apa serta bagian atau jobdesknya. Ditambah, karena ada dua orang yang memiliki presentasi saham yang sama, siapa yang menjadi leader itu tidak jelas. Intinya, saat itu kami berjalan tanpa kejelasan. Ini seperti duri kecil yang terus mengganggu selama perjalanan. Kalau dibiarkan akan memunculkan masalah yang lebih besar.

2. Tidak Menetapkan Leader

Saat itu bisa dikatakan penggeraknya adalah saya. Tapi saya sendiri secara resmi bukan leader team. Kami dulu mengandalkan inisiatif masing-masing. Bisa dibilang kami berjalan tanpa arah dan tujuan. Selama produk dalam masa produksi, kami bingung harus apa. Hanya menunggu. Saya agak greget, tapi bingung juga harus ngapain waktu itu.

Dampak dari tidak ditunjuknya seorang leader dalam team baru kami rasakan setelah produk siap dipasarkan. Kami semua terjun untuk menjual produk. Ya gak salah juga sih. Cuman saat itu saya berekspektasi lebih. Seharusnya ada yang bertanggung jawab untuk menjual, mendesain, produksi dan lainnya. Saya lebih suka tiap orang mengambil perannya masing-masing. Waktu itu tidak ada pembagian tugas. Semua mengerjakan hal yang sama di waktu yang sama. Saat mau develope produk, semua terjun bikin desain. Waktunya jualan, semuanya turun jualan. Ini membuat satu pekerjaan memakan waktu yang sangat lama.

Terus kenapa saya tidak berinisiatif? Jujur waktu itu mindset saya belum nyampe. Saya hanya bergejolak sendiri tapi tidak terampil menyampaikan pada team. Saya juga salah.

3. Tidak Menumbuhkan Semangat dan Komitmen

Ini kali pertama saya dalam memulai bisnis, juga dalam menghandle team. Saya merasa semangat, dan saya berkomitmen untuk menjalankan bisnis ini dengan baik dan terus belajar. Namun, entah kenapa saya merasa semangat dan komitmen itu tidak saya rasakan dari team. Saya dulu agak menggerutu dalam hati, juga sedikit menuntut. Saya ingin mereka sama-sama bersemangat. Tapipada akhirnya, kesalahan ada pada diri saya karena kurang terlatih berkomunikasi pada team. Wajar. Saya dulu banyak tidak tahu.

4. Tidak Sabar

Pada akhirnya, saya tidak cukup sabar. Singkat cerita, bisnis kami yang pertama itu tidak bertahan lama. Saya sangat egois hingga berpikir bisnis ini tidak bisa maju kalau semua anggota tidak memiliki semangat yang sama. Terpaksa saya ‘suntik mati’ bisnis pertama saya itu dengan cara saya sendiri mengudurkan diri, dengan begitu merekapun memutuskan untuk bubar dengan baik. Hingga kini pun hubungan kami masih baik dan tidak ada masalah.

Memulai Lagi

Tidak lama setelah berakhirnya bisnis saya yang pertama bersama teman-teman, saya langsung membuat plan baru untuk bisnis baru. Bisnis baru ini saya ingin menjalaninya sendiri. Anggapan saat itu, dengan bisnis sendiri saya lebih bebas mengekspresikan ide, bisa lebih fokus karena tidak perlu meminta persetujuan yang lain, dan bisa lebih cepat. Waktu itu, tekad saya harus bisa membuktikan kalau dengan sendiripun bisa! Beuh. Sok banget kan.

Bisnis baru ini secara produk masih sama dengan bisnis sebelumnya yaitu, kaligrafi arab yang memuat kata atau kalimat positif atau berisi motivasi. Nantinya kaligrafi arab ini akan dibuat dengan konsep tifografi yang unik. Intinya ini bakalan beda banget deh. Dulu saya cukup pede karena hampir jarang banget kaos dengan target pasar muslim yang desainnya bisa dibilang oke.

Bisnis saya yang kedua ini saya beri nama merk ‘Phicarta’. Gak ada artinya sih. Itu cuman ngambil dari dua kata ‘Challigraphic Art’ yang kemudian disingkat jadi Phicarta. Terdengar baru, dan unik. Memang saat itupun saya cek belum ada yang menggunakan nama itu sama sekali. Bagi saya, unik adalah sebuah kewajiban.

Saat mulai bisnis saya yang kedua ini, semangat saya masih ON. Malah, lebih dari yang pertama. Cuman agak cape aja karena harus mulai lagi dari nol. Ditambah, modalnya juga harus dari saku sendiri. Berat. Maklum saku mahasiswa. Saya nekat pake tabungan sendiri, dan uang jajan satu bulan yang diberikan orang tua sebelum berangkat haji. Fiuwhh.

Selang beberapa waktu saya sempat stress. Karena ternyata bisnis sendiri itu lebih cape. Ini itu sendiri, kemana-mana sendiri, hasil jualan juga gak sesuai dengan ekspektasi, panas-panasan nyari packaging, penjait, tukang sablon. Belum lagi sering keujanan, sempet dirawat juga karena drop. Orang tua lagi pergi haji dan uang tabungan habis. Banyak banget yang dipikirin.

Akhirnya saya mutusin untuk ‘selingkuh’ dulu. Saya fokusin diri mencari peluang lain. Saat itu saya melanjutkan kesibukan saya sebagai freelance designer dan menyelesaikan kuliah. Saya tidak mau nyerah, hanya saja saya butuh waktu nyiapin diri sendiri untuk bigger challenges. Saya hanya istirahat dan mulai memantau medan pertempuran.

Intinya adalah, saya saat itu bener-bener masih polos. Tau bisnis hanya kerennya aja, suksesnya aja. Ternyata, dibalik itu semua begitu banyak proses yang harus dilalui. Saya banyak belajar dari dua bisnis yang baru saya mulai itu. Ini menantang sekaligus memperkokoh tembok kesabaran saya. Dan saya sadar, perjalanan saya baru dimulai.

Dilanjut ke part selanjutnya ya….

Posted in

Leave a comment